fiksi

Perjalanan Ke Neraka

Bangunkan kalau sudah sampai’

Lalu ia meringkuk lagi, tidak mengizinkan aku mengangguk barang sedetik.

Ditariknya bantal dari sandaran kursi, menyisakan busa hijau berbalut kulit imitasi (yang entah sudah disandari berapa ribu punggung sebelum kami) untukku.

‘Permisi, saya duluan. Mari’

Ternyata sudah berhenti lagi. Kali ini tidak terlihat plang penanda apa-apa.

Dahulu saya mengada-ada,’ desis laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di dekat kursi kami, bersiap-siap turun.

Ah, ternyata  baru sampai pemberhentian bagi para pembual. Entah masih berapa jauh lagi kami berdua diturunkan.

Mari, hati-hati’

Aku mengangguk. Laki-laki itu turun. Entah siapa, tapi wajahnya familiar. Rasanya sering terlihat di televisi.

Tiga pemberhentian berikutnya, namaku disebut.

Sayang, ayo bangun’

Ia menggeliat, melirik sebentar ke luar jendela, lalu meringkuk lagi. Menjadi satu dengan bungkusan berbalut kain yang didekapnya sejak kami berangkat. Agar hangat, katanya.

‘Hey, kita sudah sampai’

Semakin dalam ia menunduk.

Kau kenapa?’

Perempuanku diam saja.

Tuan, turunlah!

Jangan membuat Nona ini terlambat sampai pemberhentian berikutnya’

Kenapa hanya aku yang diteriaki oleh supir? Bukannya kami seharusnya turun berdua?

Kami turun di sini ‘

‘Tidak, Tuan.

Wilayah ini untuk orang-orang yang memutus satu nyawa’

Kami saling menembak tepat di hitungan satu-dua-tiga, kenapa ia harus turun entah di mana?

Tuan, siapa yang turun di pemberhentian berikutnya?’

‘Orang-orang yang memutus dua nyawa’

Kurebut bungkusan yang didekapnya.

Saat dibuka,

amisnya menguar ke mana-mana.

Jahanam.

(3/8)

Standard

Leave a comment